Pembelajar Seumur Hidup

Selasa, 09 Mei 2017

Senin, 08 Mei 2017

Belajar Cinta dari Dek Chuik


“Dek anterin mira kekampus dong, motornya masih dibawa kakak ke pasar”. “Oh iya jam berapa aku jemput?” “Dosen pertama tidak masuk, jadi jemput jam 9 saja ya” “ya sudah kalau begitu” Jawab Dek Chuik.
Begitulah sepenggal percakapan yang biasa dilakukan oleh Dek Chuik dan Mira. Dek Chuik adalah seorang pemuda yang hanya tamatan SMA dan sekarang bekerja sebagai tukang sablon, sedangkan Mira adalah gadis cantik yang kuliah dijurusan ekonomi di Universitas swasta di Kota Denpasar. Keduanya memang sangat akrab dan pernah menjalin cinta.
Setelah menaruh Handphone Dek Chuik segera bergegas kekamarnya mengambil handuk, namun langkahnya terhenti ketika menatap sebuah foto yang khusus dia temple di pintu kamar tidurnya. Pikiran Dek Chuik seketika melayang, mengingat masa-masa indahnya bersama Mira. Air matanya tidak terasa mulai menetes. Iya 5 tahun yang lalu, Dek Chuik dan Mira pernah mengucapkan janji sehidup semati. Sungguh menjadi masa yang indah sewaktu duduk di bangku SMA.
Dek Chuik yang baru selesai menjalani MOS di salah satu SMA Swasta itu berkenalan dengan gadis yang berkulit putih dan wajah menawan. Tanpa sungkan Dek Chuik meminta nomor Hp Mira yang kemudian menjadi awal kisah cintanya. Mira yang masih trauma mengendarai motor akibat pernah jatuh, setiap hari dijemput dan diantar pulang oleh Dek Chuik.
“Mir mumpung hari ini tidak belajar karena persiapan Ultah sekolah, kita main-main kehutan mangrove yuk”. “Iya terserah dek saja mau ngajak Mira kemana” jawab Mira dengan raut muka yang ceria. Perjalanan ke hutan mangrove dari Jalan Kamboja tentu menjadi perjalanan yang singkat bagi Dek Chuik dan Mira. Maklum sepanjang jalan mereka saling tertawa dan tidak tertinggal kedua tangan Mira melingkar dipinggang Dek Chuik.
Hutan mangrove menjadi saksi disaat Dek Chuik dan Mira kembali mengucap cinta dan kata setia yang diakhiri dengan pelukan dan ciuman. Burung-burung berterbangan seolah memberikan restu atas persatuan dua insan yang di mabuk cinta.
Hari demi hari Dek Chuik berusaha menjaga cintanya, bahkan rela membuatkan segala tugas sekolah Mira. Ketika akhirnya 3 tahun masa putih abu-abu itu akan berakhir. Dek Chuik dan Mira sama-sama lulus dengan nilai yang memuaskan. Merayakan keberhasilannya Dek Chuik dan Mira mengisi dengan pergi ke kebun raya Bedugul. Sepeda Vario melaju dengan mulus melewati liukan jalan menajak. Hawa dingin terasa hangat karena sepanjang waktu dihamparan rumput ditengah-tengah kebun raya, tubuh dua insan ini tidak pernah terlepas.
Namun ketika perjalanan pulang, raut muka Dek Chuik terasa tegang. Mira telah menyampaikan bahwa akan melanjutkan kuliah dan ketika Mira bertanya “Dek, km mau kuliah dimana? Ngambil jurusan yang sama yuuk?” Dek Chuik diam seribu bahasa. Dek Chuik masih teringat kata-kata bapaknya yang menyuruh langsung bekerja, karena sudah tidak mampu menanggung biaya kuliah.
Sampai sebulan kemudian Dek Chuik masih belum memberikan jawaban apakah akan kuliah atau tidak kepada Mira. Dek Chuik malu harus berterus terang tidak mampu kuliah. Dia hanya menjawab “Nantilah aku mendaftar, saat ini masih mencari jurusan yang pas” ketika Mira terus bertanya.
Bulan September 2014 pun tiba, Mira dengan pakaian hitam putih memulai aktivitas perkuliahannya dengan kegiatan OSPEK. Beragam tugas yang harus dibuat dan barang-barang yang dibawa semua terasa mudah ketika sudah dibantu oleh Dek Chuik.
Waktu berjalan, perbedaan aktivitas mulai merubah perilaku Mira. Walaupun Dek Chuik selalu berkunjung kerumahnya sehabis bekerja menyablon, Mira mulai tidak menikmati pertemuannya dengan Dek Chuik. Setiap bertemu, Mira lebih banyak menghabiskan waktu dengan mempermainkan Hpnya. Entah dia sedang mengirimkan BBM kepada siapa, Dek Chuik tidak pernah tahu.
Bulan Maret 2015, Mira mulai susah dihubungi oleh Dek Chuik. Dicari kerumahnya pun Mira sering tidak ada. Oleh orang tuanya Mira dikatakan sedang mengerjakan tugas dikost teman. Dek Chuik mulai curiga, tetapi dia tidak mau menuduh karena takut menyinggung perasaan pacarnya itu. Dek Chuik dengan ketulusannya terus berdoa agar Mira sukses dalam perkuliahan.
Tepat satu tahun Mira kuliah, Dek Chuik mendadak mendapatkan kabar yang seketika mampu membuatnya kaku. Air matanya berurai. Pikirannya kalut. Dunia terasa kiamat baginya. Iya…. Dek Chuik mendapat kabar Mira pacar dari masa SMAnya akan menikah dengan seorang pemuda yang diketahuinya baru lulus perguruan tinggi pariwisata. Hatinya semakin hancur karena mendengar gosip Mira menikah karena hamil.
Dek Chuik langsung menghubungi Mira menanyakan kabar itu sekaligus mencari jawaban mengapa Mira membohongi serta menyakitinya. “Maafin Mira dek, Bapak tidak setuju hubungan kita. Bapak ingin Mira pacaran dengan sesama orang kuliahan”. “Mira tidak memiliki pilihan lain setelah Ibu mengenalkan dengan seorang pria dari Payangan” sambung Mira dengan suara lirih di Hp, dan tentu begitu menyakitkan bagi Dek Chuik.
Dek Chuik berusaha tegar, dia menyadari dirinya bukan siapa-siapa. Dia hanya tukang sablon yang penghasilannya hanya cukup untuk makan saja. Dek Chuik menyadari jika Mira menikah dengan dirinya maka sudah tentu hidupnya akan pas-pasan. Bisa saja Mira tidak bahagia.
Dengan berusaha tegar, Dek Chuik menghadiri pesta pernikahan Mira. Walaupun sebentar karena takut terbawa perasaan, Dek Chuik merasa puas setelah dapat memberikan ucapan selamat kepada pacarnya itu. Sesungguhnya mereka masih pacaran, karena sejak mengucap saling mencintai Dek Chuik dan Mira tidak pernah mengucap perpisahan.
5 bulan kemudian Hp Dek Chuik berdering, dan ketika diangkat terdengar suara Mira yang mengabarkan dia sudah melahirkan bayi perempuan. Dek Chuik turut berbahagia mendengar hal itu. Baginya kebahagian Mira adalah kebahagiannya. Tidak sedikitpun Dek Chuik merasa sakit hati kepada Mira. Bahkan ketika suami Mira berangkat bekerja kekapal pesiar pun, Dek Chuik setia dan penuh bahagia mengantarkan Mira memeriksakan bayinya ke Klinik rumah sakit diseputaran Jalan WR Supratman.
Berbagai cibiran akhirnya datang silih berganti dari lingkungan tempat tinggal Dek Chuik, termasuk juga teman-temannya. “Dek Chuik suud dadi dagang kasur” begitulah ungkapan yang sering terdengar ditelinga Dek Chuik. Tetapi Dek Chuik tidak menghiraukan, baginya bisa membantu Mira adalah sebuah kebahagiaan.
Ketika selesai cuti kuliah dan aktif kembali di kampus, Dek Chuik dengan setia mengantar Mira. Dan hanya berhenti mengantar ketika suami Mira telah pulang dari berlayar. Karena saking seringnya mengantar kekampus, bahkan ada dosen yang mengira Dek Chuik itu adalah suami Mira.
“Eh Dek suud menghayal, enggalin manjus. Memek lakar manjus masih, nak konen mebanten ne”. Dek Chuik seketika tersadar setelah mendengar bentakan ibunya. Segera dia masuk kekamar mandi dan setelah berpakaian rapi bergegas mengambil motor menuju rumah Mira. Mira yang berpakaian rapi ternyata sudah menanti didepan rumah, seketika senyum Mira mengembang ketika melihat Dek Chuik.
Di November 2015, Dek Chuik mendapatkan tawaran dari temannya yang tamatan sekolah seni untuk merantau ke Yunani menjadi pelukis tembok pembatas jalan dan dinding rumah. Dek Chuik berusaha menolak, karena dia berpikir jika pergi ke Yunani siapa yang akan mengantar jemput Mira.  Ibu Dek Chuik tahu kenapa Dek Chuik melakukan penolakan, dengan uraian air mata ibunya terus menasehati “Dek berangkat sube kemu, ngujang jumah sing karoan, gajih nyablon nak sing amongken. Memek nak sebet sesai ningeh orte dijalan cai dadi dagang kasur. Yen dadi idih memek suud nyemak gae keketo”.“Tapi kene mek, yen tiang megedi ke Yunani nyanan nyen ane ngetehang Mira masuk” Dek Chuik menjawab nasehat ibunya. “Nah yen dek sutindih sajan ajak Mira pang gen sube memek mati, sakit hati memek sesai ningeh orte jelek”. “Ehhhh memek de ngorahang keto, nah, nah tiang lakar megedi megae ke Yunani”.
Awal Januari 2016 Dek Chuik berangkat ke Yunani, dengan perasaan yang bersalah kepada Mira karena tidak bisa membantunya lagi. Sepeninggal Dek Chuik, Mira merasakan kehilangan, sehari-hari dia mulai kesulitan kemana-mana. Muncul perasaan sepi, pria yang mengisi hidupnya telah pergi jauh kerantauan, kesehariannya hanya ditemani oleh Dika anaknya. Mertuanya yang pekerja kantoran selalu pulang menjelang malam. Sesekali Mira memandangi foto di dompetnya sambil berlinangan air mata. Foto seorang pria yang tersenyum menggunakan pakaian putih abu-abu.
SEKIAN

Pertama dipublikasikan di : http://fiksiana.kompasiana.com/iketutsudarsana/belajar-cinta-dari-dek-chuik_56a9644491fdfdfb038b4575
Share:

Pengalaman Spiritual Pejabat Muda



Suatu hari di dalam ruangan saya yang sejuk tiba-tiba muncul bidadari Fakultas Dharma Duta, yang dengan lembutnya membuka pintu dan mengatakan akan menghadap bapak Ketua LPM IHDN Denpasar. Saya tertegun melihat body semampainya duduk didepan meja, dan begitu terpesona mendengar untaian kata yang keluar dari mulutnya. “Maaf pak Ketut saya mohon bisa membuat tulisan, tulisannya tentang pengalaman spiritual pejabat muda”. “Pejabat muda?” Waduh akhirnya ada yang mengatakan kebenaran bahwa saya itu memang masih muda. “Iya Ibu, kalau sama ibu Yuli saya pasti menurut, pasti akan saya buatkan, ini semua hanya untuk ibu Yuli”. Itulah jawaban pamungkas saya.
Setelah sang bidadari keluar ruangan, saya mulai merenung apakah saya memiliki pengalaman spiritual. Rasanya saya bukan orang spiritual, apalagi penganut spiritual. Cuma saya teringat diskusi di kelas sewaktu kuliah S3 di Bandung, yakni mengenai artikel berjudul “Religious Factors and Hippocampal Atrophy in Late Life”, yang melaporkan hasil-hasil suatu penelitian klinis (memakai manusia sebagai objek-objek yang diteliti, tidak hanya berdasarkan teori-teori), dimana penelitian tersebut mencoba untuk menemukan hubungan antara struktur dan volume neuroanatomi dalam otak manusia dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang mengubah kehidupan seseorang, pelatihan-pelatihan spiritual, dan keanggotaan dalam komunitas keagamaan. Hasil diskusi tersebut menyimpulkan bahwa pengalaman spiritual bisa berlangsung bahkan dengan sangat intens karena organ otak manusia memang memiliki berbagai kemampuan neural untuk menimbulkan pengalaman-pengalaman itu. Semua pengalaman spiritual dengan demikian terhubung sangat kuat, hard-wired, dengan neuron-neuron dalam organ otak; atau sebaliknya, otak manusia hard-wired dengan pengalaman spiritual. Karena semua orang memiliki neuroanatomi dalam otaknya, maka pasti pernah memiliki pengalaman spiritual termasuk saya sendiri.
Dengan tugas menulis ini membuat saya mulai mengingat-ingat pengalaman mana yang terkategori pengalaman spiritual, apalagi tulisan tentang pengalaman ini akan banyak di baca oleh banyak teman sejawat serta mahasiswa. Setelah merenung dan selesai meminum kopi buatan staf plus membuka facebook, akhirnya saya mendapat inspirasi pengalaman spiritual yang saya bisa tulis. Iya… pengalaman ini saya kategorikan spiritual karena tidak hanya bersifat sekala tetapi juga ada unsur niskala. Pengalaman ini terjadi di suatu malam lebih dari 10 tahun lalu, ketika saya dinyatakan lulus dan di wisuda tepatnya tanggal 8 September 2004, bermimpi melihat bulan dan mampu menyentuhnya. Saat itu saya tidak terlalu menghiraukan karena memang tidak tahu artinya, namun setelah beberapa hari akhirnya mimpi ini saya ceritakan sama “memek” di Ulakan.
Berselang sebulan, saya mendapat informasi bahwa STAHN Denpasar, almamater saya membuka lowongan pengangkatan CPNS untuk Dosen. Tanpa berpikir panjang saya bersama-sama teman sekelas seperti Dr (Cand) Kadek Aria Prima Dewi PF, S.Ag., M.Pd. dan Jero Gede Rai Parsua, S.Ag., M.Pd. memasukkan lamaran. Ketika memiliki kesempatan pulang kampung saya menceritakan lamaran dosen ini kepada ibu “memek”. Ketika itu ibu “memek” saya mengatakan bahwa saya pasti akan lulus, kira –kira beliau berkata “Tut jeg pasti lulus ne”. “dadi keto mek” tanya saya. “Nah memek yakin sajan, dibi ‘memek’ maan ngipi patuh ajak ane ortangang tut ipidan”. Setelah sebulan berlalu, saya mengikuti Test Tertulis dengan keyakinan penuh pasti akan lulus. Walaupun beberapa teman memprovokasi bahwa jika ingin lulus harus menyerahkan sejumlah uang kepada oknum kampus, tetapi saya percaya dengan keyakinan dan restu “memek”. Sebulan kemudian waktu pengumuman telah tiba, pagi-pagi sambil menghilangkan rasa penasaran, saya membeli kopi di warung pak Kelian Banjar Tatasan Kaja. Hayalan saya hilang ketika Jero Gede Rai Parsua, S.Ag., M.Pd. datang memberikan kabar bahwa pengumuman telah di tempel dan mengatakan dirinya telah lulus.
Cuma yang membuat jantung saya terasa berhenti ketika dikatakan saya tidak lulus. Seketika saya lari kekampus untuk melihat pengumuman tersebut dan memastikan keyakinan selama ini. Melihat pengumuman yang tertempel, ucap syukur menyelimuti pikiran, nama saya I Ketut Sudarsana, S.Ag. tercantum pada urutan nomor 5. Hal ini sesungguhnya membuktikan bahwa doa dan restu orang tua itu sangat berpengaruh pada kehidupan diri kita. Sehingga setiap bertemu ketika pulang kampung saya senantiasa menyempatkan diri untuk sujud di kaki padma ibu “memek”, seraya mengucap doa “Twameva mata cha pita twameva. Twameva bandhus cha sakha twameva. Twameva vidya dravinam twameva. Twameva sarvam mama deva deva. Ketika membaca tulisan ini tentu banyak pembaca yang merasa pengalaman saya ini bukanlah pengalaman spiritual, karena tidak menyangkut hal-hal yang bersifat supranatural dan gaib. Judul di atas “pengalaman spiritual pejabat muda” sesungguhnya agak dipaksakan karena permintaan bidadari Fakultas Dharma Duta.

Tulisan ini pertamakali dimuat pada : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08

Suatu hari di dalam ruangan saya yang sejuk tiba-tiba muncul bidadari Fakultas Dharma Duta, yang dengan lembutnya membuka pintu dan mengatakan akan menghadap bapak Ketua LPM IHDN Denpasar. Saya tertegun melihat body semampainya duduk didepan meja, dan begitu terpesona mendengar untaian kata yang keluar dari mulutnya. “Maaf pak Ketut saya mohon bisa membuat tulisan yang akan terbit di Majalah Brahmastra, tulisannya tentang pengalaman spiritual pejabat muda”. “Pejabat muda?” Waduh akhirnya ada yang mengatakan kebenaran bahwa saya itu memang masih muda. “Iya Ibu, kalau sama ibu Yuli saya pasti menurut, pasti akan saya buatkan, ini semua hanya untuk ibu Yuli”. Itulah jawaban pamungkas saya. Setelah sang bidadari keluar ruangan, saya mulai merenung apakah saya memiliki pengalaman spiritual. Rasanya saya bukan orang spiritual, apalagi penganut spiritual. Cuma saya teringat diskusi di kelas sewaktu kuliah S3 di Bandung, yakni mengenai artikel berjudul “Religious Factors and Hippocampal Atrophy in Late Life”, yang melaporkan hasil-hasil suatu penelitian klinis (memakai manusia sebagai objek-objek yang diteliti, tidak hanya berdasarkan teori-teori), dimana penelitian tersebut mencoba untuk menemukan hubungan antara struktur dan volume neuroanatomi dalam otak manusia dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang mengubah kehidupan seseorang, pelatihan-pelatihan spiritual, dan keanggotaan dalam komunitas keagamaan. Hasil diskusi tersebut menyimpulkan bahwa pengalaman spiritual bisa berlangsung bahkan dengan sangat intens karena organ otak manusia memang memiliki berbagai kemampuan neural untuk menimbulkan pengalaman-pengalaman itu. Semua pengalaman spiritual dengan demikian terhubung sangat kuat, hard-wired, dengan neuron-neuron dalam organ otak; atau sebaliknya, otak manusia hard-wired dengan pengalaman spiritual. Karena semua orang memiliki neuroanatomi dalam otaknya, maka pasti pernah memiliki pengalaman spiritual termasuk saya sendiri. Dengan tugas menulis ini membuat saya mulai mengingat-ingat pengalaman mana yang terkategori pengalaman spiritual, apalagi tulisan tentang pengalaman ini akan banyak di baca oleh banyak teman sejawat serta mahasiswa. Setelah merenung dan selesai meminum kopi buatan staf plus membuka facebook, akhirnya saya mendapat inspirasi pengalaman spiritual yang saya bisa tulis. Iya… pengalaman ini saya kategorikan spiritual karena tidak hanya bersifat sekala tetapi juga ada unsur niskala. Pengalaman ini terjadi di suatu malam lebih dari 10 tahun lalu, ketika saya dinyatakan lulus dan di wisuda tepatnya tanggal 8 September 2004, bermimpi melihat bulan dan mampu menyentuhnya. Saat itu saya tidak terlalu menghiraukan karena memang tidak tahu artinya, namun setelah beberapa hari akhirnya mimpi ini saya ceritakan sama “memek” di Ulakan. Berselang sebulan, saya mendapat informasi bahwa STAHN Denpasar, almamater saya membuka lowongan pengangkatan CPNS untuk Dosen. Tanpa berpikir panjang saya bersama-sama teman sekelas seperti Dr (Cand) Kadek Aria Prima Dewi PF, S.Ag., M.Pd. dan Jero Gede Rai Parsua, S.Ag., M.Pd. memasukkan lamaran. Ketika memiliki kesempatan pulang kampung saya menceritakan lamaran dosen ini kepada ibu “memek”. Ketika itu ibu “memek” saya mengatakan bahwa saya pasti akan lulus, kira –kira beliau berkata “Tut jeg pasti lulus ne”. “dadi keto mek” tanya saya. “Nah memek yakin sajan, dibi ‘memek’ maan ngipi patuh ajak ane ortangang tut ipidan”. Setelah sebulan berlalu, saya mengikuti Test Tertulis dengan keyakinan penuh pasti akan lulus. Walaupun beberapa teman memprovokasi bahwa jika ingin lulus harus menyerahkan sejumlah uang kepada oknum kampus, tetapi saya percaya dengan keyakinan dan restu “memek”. Sebulan kemudian waktu pengumuman telah tiba, pagi-pagi sambil menghilangkan rasa penasaran, saya membeli kopi di warung pak Kelian Banjar Tatasan Kaja. Hayalan saya hilang ketika Jero Gede Rai Parsua, S.Ag., M.Pd. datang memberikan kabar bahwa pengumuman telah di tempel dan mengatakan dirinya telah lulus. Cuma yang membuat jantung saya terasa berhenti ketika dikatakan saya tidak lulus. Seketika saya lari kekampus untuk melihat pengumuman tersebut dan memastikan keyakinan selama ini. Melihat pengumuman yang tertempel, ucap syukur menyelimuti pikiran, nama saya I Ketut Sudarsana, S.Ag. tercantum pada urutan nomor 5. Hal ini sesungguhnya membuktikan bahwa doa dan restu orang tua itu sangat berpengaruh pada kehidupan diri kita. Sehingga setiap bertemu ketika pulang kampung saya senantiasa menyempatkan diri untuk sujud di kaki padma ibu “memek”, seraya mengucap doa “Twameva mata cha pita twameva. Twameva bandhus cha sakha twameva. Twameva vidya dravinam twameva. Twameva sarvam mama deva deva. Ketika membaca tulisan ini tentu banyak pembaca yang merasa pengalaman saya ini bukanlah pengalaman spiritual, karena tidak menyangkut hal-hal yang bersifat supranatural dan gaib. Judul di atas “pengalaman spiritual pejabat muda” sesungguhnya agak dipaksakan karena permintaan bidadari Fakultas Dharma Duta.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08
Suatu hari di dalam ruangan saya yang sejuk tiba-tiba muncul bidadari Fakultas Dharma Duta, yang dengan lembutnya membuka pintu dan mengatakan akan menghadap bapak Ketua LPM IHDN Denpasar. Saya tertegun melihat body semampainya duduk didepan meja, dan begitu terpesona mendengar untaian kata yang keluar dari mulutnya. “Maaf pak Ketut saya mohon bisa membuat tulisan yang akan terbit di Majalah Brahmastra, tulisannya tentang pengalaman spiritual pejabat muda”. “Pejabat muda?” Waduh akhirnya ada yang mengatakan kebenaran bahwa saya itu memang masih muda. “Iya Ibu, kalau sama ibu Yuli saya pasti menurut, pasti akan saya buatkan, ini semua hanya untuk ibu Yuli”. Itulah jawaban pamungkas saya. Setelah sang bidadari keluar ruangan, saya mulai merenung apakah saya memiliki pengalaman spiritual. Rasanya saya bukan orang spiritual, apalagi penganut spiritual. Cuma saya teringat diskusi di kelas sewaktu kuliah S3 di Bandung, yakni mengenai artikel berjudul “Religious Factors and Hippocampal Atrophy in Late Life”, yang melaporkan hasil-hasil suatu penelitian klinis (memakai manusia sebagai objek-objek yang diteliti, tidak hanya berdasarkan teori-teori), dimana penelitian tersebut mencoba untuk menemukan hubungan antara struktur dan volume neuroanatomi dalam otak manusia dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang mengubah kehidupan seseorang, pelatihan-pelatihan spiritual, dan keanggotaan dalam komunitas keagamaan. Hasil diskusi tersebut menyimpulkan bahwa pengalaman spiritual bisa berlangsung bahkan dengan sangat intens karena organ otak manusia memang memiliki berbagai kemampuan neural untuk menimbulkan pengalaman-pengalaman itu. Semua pengalaman spiritual dengan demikian terhubung sangat kuat, hard-wired, dengan neuron-neuron dalam organ otak; atau sebaliknya, otak manusia hard-wired dengan pengalaman spiritual. Karena semua orang memiliki neuroanatomi dalam otaknya, maka pasti pernah memiliki pengalaman spiritual termasuk saya sendiri. Dengan tugas menulis ini membuat saya mulai mengingat-ingat pengalaman mana yang terkategori pengalaman spiritual, apalagi tulisan tentang pengalaman ini akan banyak di baca oleh banyak teman sejawat serta mahasiswa. Setelah merenung dan selesai meminum kopi buatan staf plus membuka facebook, akhirnya saya mendapat inspirasi pengalaman spiritual yang saya bisa tulis. Iya… pengalaman ini saya kategorikan spiritual karena tidak hanya bersifat sekala tetapi juga ada unsur niskala. Pengalaman ini terjadi di suatu malam lebih dari 10 tahun lalu, ketika saya dinyatakan lulus dan di wisuda tepatnya tanggal 8 September 2004, bermimpi melihat bulan dan mampu menyentuhnya. Saat itu saya tidak terlalu menghiraukan karena memang tidak tahu artinya, namun setelah beberapa hari akhirnya mimpi ini saya ceritakan sama “memek” di Ulakan. Berselang sebulan, saya mendapat informasi bahwa STAHN Denpasar, almamater saya membuka lowongan pengangkatan CPNS untuk Dosen. Tanpa berpikir panjang saya bersama-sama teman sekelas seperti Dr (Cand) Kadek Aria Prima Dewi PF, S.Ag., M.Pd. dan Jero Gede Rai Parsua, S.Ag., M.Pd. memasukkan lamaran. Ketika memiliki kesempatan pulang kampung saya menceritakan lamaran dosen ini kepada ibu “memek”. Ketika itu ibu “memek” saya mengatakan bahwa saya pasti akan lulus, kira –kira beliau berkata “Tut jeg pasti lulus ne”. “dadi keto mek” tanya saya. “Nah memek yakin sajan, dibi ‘memek’ maan ngipi patuh ajak ane ortangang tut ipidan”. Setelah sebulan berlalu, saya mengikuti Test Tertulis dengan keyakinan penuh pasti akan lulus. Walaupun beberapa teman memprovokasi bahwa jika ingin lulus harus menyerahkan sejumlah uang kepada oknum kampus, tetapi saya percaya dengan keyakinan dan restu “memek”. Sebulan kemudian waktu pengumuman telah tiba, pagi-pagi sambil menghilangkan rasa penasaran, saya membeli kopi di warung pak Kelian Banjar Tatasan Kaja. Hayalan saya hilang ketika Jero Gede Rai Parsua, S.Ag., M.Pd. datang memberikan kabar bahwa pengumuman telah di tempel dan mengatakan dirinya telah lulus. Cuma yang membuat jantung saya terasa berhenti ketika dikatakan saya tidak lulus. Seketika saya lari kekampus untuk melihat pengumuman tersebut dan memastikan keyakinan selama ini. Melihat pengumuman yang tertempel, ucap syukur menyelimuti pikiran, nama saya I Ketut Sudarsana, S.Ag. tercantum pada urutan nomor 5. Hal ini sesungguhnya membuktikan bahwa doa dan restu orang tua itu sangat berpengaruh pada kehidupan diri kita. Sehingga setiap bertemu ketika pulang kampung saya senantiasa menyempatkan diri untuk sujud di kaki padma ibu “memek”, seraya mengucap doa “Twameva mata cha pita twameva. Twameva bandhus cha sakha twameva. Twameva vidya dravinam twameva. Twameva sarvam mama deva deva. Ketika membaca tulisan ini tentu banyak pembaca yang merasa pengalaman saya ini bukanlah pengalaman spiritual, karena tidak menyangkut hal-hal yang bersifat supranatural dan gaib. Judul di atas “pengalaman spiritual pejabat muda” sesungguhnya agak dipaksakan karena permintaan bidadari Fakultas Dharma Duta.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iketutsudarsana/pengalaman-spiritual-pejabat-muda_568b4ede5493734905746b08
Share:

Sabtu, 06 Mei 2017

Curriculum Vitae

Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H. lahir di Desa Ulakan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Provinsi Bali pada tanggal 4 September 1982. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan I Ketut Derani (Alm.) dan Ni Ketut Merta. Menikah dengan Adi Purnama Sari, S.Pd.H. dan dikaruniai tiga orang anak yakni: Saraswati Cetta Sudarsana (3 April 2010), Kamaya Narendra Sudarsana dan Ganaya Rajendra Sudarsana (11 Mei 2011). Jenjang pendidikan formal yang dilalui adalah SDN 4 Ulakan lulus pada tahun 1994, SMPN 1 Manggis lulus tahun 1997, dan SMKN 1 Sukawati lulus tahun 2000. Pada tahun 2004 menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) Pendidikan Agama Hindu di Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Denpasar, dan program Magister (S2) Pendidikan Agama Hindu di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar lulus tahun 2009. Tahun 2011 berkesempatan melanjutkan pendidikan Doktor (S3) Pendidikan Luar Sekolah di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung lulus tanggal 8 Juli 2014. Pengalaman kerja dimulai pada tanggal 1 Januari 2005 sampai sekarang sebagai dosen tetap Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Saat ini Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H.  beralamat di Jalan Antasura Gang Dewi Madri I Blok A/3 Banjar Jurang Asri, Desa Peguyangan Kangin, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, Provinsi Bali, dengan email i.ketut.sudarsana@pnsmail.go.id, iketutsudarsana@kemenag.go.id, ulakan82@gmail.com
Share:

IHDN Denpasar

Arsip Blog

Profil

Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H. lahir di Desa Ulakan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Provinsi Bali pada tanggal 4 September 1982. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan I Ketut Derani (Alm.) dan Ni Ketut Merta. Menikah dengan Adi Purnama Sari, S.Pd.H. dan dikaruniai tiga orang anak yakni: Saraswati Cetta Sudarsana (3 April 2010), Kamaya Narendra Sudarsana dan Ganaya Rajendra Sudarsana (11 Mei 2011). Jenjang pendidikan formal yang dilalui adalah SDN 4 Ulakan lulus pada tahun 1994, SMPN 1 Manggis lulus tahun 1997, dan SMKN 1 Sukawati lulus tahun 2000. Pada tahun 2004 menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) Pendidikan Agama Hindu di Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Denpasar, dan program Magister (S2) Pendidikan Agama Hindu di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar lulus tahun 2009. Tahun 2011 berkesempatan melanjutkan pendidikan Doktor (S3) Pendidikan Luar Sekolah di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung lulus tanggal 8 Juli 2014. Pengalaman kerja dimulai pada tanggal 1 Januari 2005 sampai sekarang sebagai dosen tetap Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Saat ini Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H. beralamat di Jalan Antasura Gang Dewi Madri I Blok A/3 Banjar Jurang Asri, Desa Peguyangan Kangin, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, Provinsi Bali, dengan email i.ketut.sudarsana@pnsmail.go.id, iketutsudarsana@kemenag.go.id, ulakan82@gmail.com

Visitors

Flag Counter">